![]() |
Nurul Fajri, SH, Kabag Hukum Setdakab Bireuen. [Foto Ist] |
BIREUEN | Dilihat latar belakang kondisi saat ini banyak Gampong di Bireuen, adanya konflik internal bermula dari kesalahpahaman dan minimnya pengetahuan hukum. Sengketa kecil bisa berubah jadi urusan panjang sampai di meja pengadilan.
Tapi kini, ada Gampong yang tak perlu menunggu aparat. Mereka menyelesaikan masalah dengan musyawarah. Kepala desa (Keuchik) bukan lagi hanya pelayan administrasi, tapi juru damai. Bukan pengacara, akan tetapi ianya juga sebagai fasilitator keadilan tahap awal.
Diketahui, Dua Gampong di Kabupaten Bireuen, yakni Gampong Kukue dan Gampong Paya, Kecamatan Peudada, hari ini keduanya kembali mengukir prestasi, dan berhasil mendapat gelar Non Litigation Peacemaker (NL.P), usai diumumkan oleh BPHN hasil seleksi nasional Paralegal Justice Award (PJA) 2025, Selasa (29/7/25).
Kedua Gampong ini dinyatakan telah menyelesaikan seluruh proses pelatihan dalam bentuk training, dan aktualisasi program serta terdaftar dalam daftar resmi peserta nasional dengan status “Lengkap”.
Kabag Hukum Setdakab Bireuen Nurul Fajri, SH, kepada media ianya menyebutkan, terutama sekali mengapresiasi kepada Keuchik tersebut tahun ini terpilih sebagai penerima predikat NL.P, ini tidak mudah, banyak tantangan yang harus dilewati sebelumnya, Alhamdulillah keduanya berhasil mendapat predikat dari BPHN program kementerian hukum dan Ham, selainitu, program ini juga merupakan menciptakan kader paralegal teritama pada saat mendaftar sedang menjabat sebagai kepala desa (Keuchik).
Kita bangga, dan mengapresiasi langkah pemerintah mengkaderisasi Paralegal lewat uji seleksi yang menantang. Tujuannya untuk mengetahui regulasi hukum dalam menyelesaikan masalah, melalui proses jalur damai, proses hukum dan memberikan keringanan bagi warga yang hendak menyelesaikan masalah, disini seorang kepala desa (Keuchik) juga diwajibkan membentuk Posbankum, artinya segala tindakan digampong bisa berkonsultasi melalui posbankum yang bekerjasama dengan lembaga adat gampong," terangnya.
Disisi lain, Paralegal Justice Award yang sudah berjalan 3 tahun, sejak 2023 s.d 2025 ini, adalah program nasional yang digagas oleh Kementerian Hukum dan HAM RI melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Selama ini sudah terlihat dampaknya, bagi kader yang sudah memiliki pendidikan khusus menjadi Paralegal dengan diberi gelar NL.P. Lewat ajang inilah, negara mengakui peran Paralegal atau disini kepala desa (Keuchik) dan lurah sebagai community-based paralegal—tokoh kunci yang mampu memahami, mengedukasi, dan menyelesaikan persoalan hukum di tengah masyarakat secara damai dan non-litigatif.
“Kalau masyarakat dan pemerintah gampong tahu aturan hukum, mereka bisa menyelesaikan persoalan sendiri. Tidak langsung ke aparat penegak hukum, tidak harus ke pengadilan. Inilah yang ingin kita bangun,” kata Kabag Hukum Setdakab Bireuen Nurul Fajri, SH, Jum'at (1/8/25)
Program ini bukan sekadar lomba, menurutnya kebijakan afirmatif yang menyiapkan pemimpin desa untuk menjadi peacemaker dalam arti paling konkret seperti memediasi konflik, mencegah sengketa, dan menjaga harmoni.
Peserta yang lulus diberi gelar Non-Litigasi Peacemaker (NL.P)—gelar resmi yang diakui negara dan disertai pin serta sertifikat dari Kemenkumham.
Dalam dua tahun terakhir, Aceh telah membuktikan konsistensinya, siapbtampil dalam ajang seleksi nasional. Tahun 2023, dari sekian banyak desa ikut di Aceh, dua di antaranya Desa Karieng (Peudada Bireuen) dan Desa Hagu (Kota Lhokseumawe)—berhasil masuk nominasi nasional dan menjadi alumni PJA.
Tahun 2024, prestasi meningkat, yaitu 3 Desa di Aceh, salah satunya Bireuen masih berpeluang menerima gelar NL.P, yaiti Kepala Desa Pulo Lawang Peudada, Dari Aceh Tengah, dan Kota Banda Aceh.
Belum berhenti disitu, tahun ini Aceh Kembali meningkat pesat, kali ini 2025, dari sekian banyak ribuan peserta yang ikut, 8 peserta berhasil mendapat gelar NL.P dan melanjutkan estafet Paralegal, dalam hal ini Bireuen masih mendapat kesempatan dengan jumlah 2 Gampong, dari Aceh Tengah 1 Gampong, Bener meriah 1 Gampong, Aceh Besar 1 Gampong, Kota Banda Aceh 1 Gampong, Sabang 1 Gampong dan Lhokseumawe 1 Gampong. Daftar peserta tersebut tercatat dalam daftar hasil seleksi akhir nasional yang telah bersaing se-Indonesia.
Namun demikian, hal tersebut merupakan capaian berharga bagi peserta yang lulus menjadi Paralegal, bukan sekadar administratif. Di baliknya ada kerja nyata. Salah satunya, ketika terjadi insiden di Desa (Gampong) dengan cepat mengambil sikap tindakan berhasil diselesaikan dalam segera.
Kita yakin, para peserta yang lulus dalam seleksi nasional ini, tidak ada yang membiarkan masalah berlarut, dengan capat menanggapi turun tangan sebagai fasilitator. Tindakan bisa ditangani melalui dialog yang dijembatani secara damai, dan menerima dengan baik. Masalah selesai tanpa proses hukum.
“Inilah bentuk keadilan restoratif di tingkat desa. Hukum hadir lewat pemahaman, bukan semata sanksi. Inilah yang menjadi nilai utama PJA,” jelas Nurul Fajri.
Tak hanya soal teknis penyelesaian konflik, program ini juga menguatkan desa (Gampong) dari sisi kelembagaan.
Setiap desa (Gampong) yang ikut wajib membentuk Kelompok Sadar Hukum, yang bertugas menyosialisasikan aturan dan menjadi simpul edukasi warga. Dari kelompok ini, hukum menjadi bagian dari budaya, bukan ancaman.
Partisipasi pemerintah Gampong terkait program ini pun terintegrasi dalam visi besar pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh nomor 9 tahun 2008, terutama dalam pilar peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan Gampong.
Menurut Nurul Fajri, kunci utama adalah pemahaman hukum yang merata—dari pemimpin desa hingga masyarakat akar rumput.
“Kami ingin kepala desa (Keuchik) bisa melakukan upaya sosialisasi hukum, aturan, dan masyarakatnya sadar hak serta kewajiban hukum. Pemerintahan yang baik harus dibangun dari Gampong” tegasnya.
Kabg Hukum Setdakab Bireuen juga berencana memperluas dampak program ini melalui pembinaan dan replikasi ke Gampong-gampong lain.
Harapannya, akan lebih banyak Gampong di Aceh Khususnya disini di Bireuen yang mampu menjadi paralegal komunitas, yang bukan hanya memahami hukum, tapi menjadi penjaga keadilan sosial berbasis lokal.
Editor : Redaksi (Ir)
Social Header