Breaking News

Jeritan Petani Kebun Dibalik Sorotan Sepihak Berita Media

Murtala

BIREUEN | Suara kegelisahan petani kecil di Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, mencuat setelah muncul pemberitaan soal lahan sawit di kawasan Alue Peukeuce. Mereka menolak tudingan yang menyebut kebun itu dikuasai oknum dewan dan merasa dijadikan kambing hitam oleh media.

“Kami masyarakat Peudada merasa resah dengan pemberitaan yang menyebut lahan sawit di Alue Peukeuce dikuasai oknum dewan. Tuduhan ini tidak benar. Lahan tersebut digarap langsung oleh kami, petani kecil, untuk menanam sawit, durian, pinang, pisang, dan tanaman lain. Kebun inilah yang menjadi sumber hidup keluarga kami,” ujar Murtala (47), salah seorang petani kebun asal Desa Garot, Senin (15 September 2025).

Petani kebun itu mempertanyakan, mengapa sorotan media hanya mengarah ke Alue Peukeuce, sementara hutan produksi di wilayah lain dari Aceh Utara hingga Pidie Jaya sudah lama dibuka untuk perkebunan. “Apakah ada kepentingan politik di balik pemberitaan sepihak ini?” tanyanya.

Murtala menegaskan, apa yang dilakukan petani hanyalah memanfaatkan lahan bekas perusahaan besar yang dulu beroperasi di kawasan itu. Ia menyebut PT Narindu dan PT Marjaya pernah menebang kayu dalam skala besar dan mengangkut hasilnya lewat tongkang di pantai Peudada. “Apa yang kami lakukan hanyalah menggarap bekas lahan mereka, bukan merusak hutan perawan seperti yang digambarkan,” katanya.

Ia juga menyinggung peran seuneubok dalam mengatur pembagian lahan. Menurutnya, praktik itu bukan jual beli, melainkan jasa tunjuk tanah. Namun, persaingan politik lokal dan pergantian pejabat seuneubok disebutnya kerap memicu kecemburuan hingga melahirkan tudingan yang diarahkan ke petani.

“Lebih janggal lagi, di banyak tempat lain masyarakat juga membuka lahan, bahkan ada yang sempat ditangkap aparat, tapi tidak pernah ada tersangka. Lalu mengapa hanya Alue Peukeuce yang selalu dipublikasikan?” ucapnya.

Ia berharap pemerintah turun tangan memberi solusi, bukan justru membiarkan petani kecil menjadi korban pemberitaan sepihak. “Jika negara benar-benar peduli, sejatinya melahirkan program pemberdayaan masyarakat petani kebun agar kami tidak lagi merintih dan menjerit di balik sekarat ekonomi, hanya demi menyambung hidup tanpa harus bergelut dihutan belantara,” pungkasnya.

Diharapkan, pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Aceh dapat menindaklanjuti persoalan ini secara proporsional. Masyarakat petani kebun juga memahami upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah kerusakan lingkungan sekaligus menjaga aturan dan batas-batas kehutanan.

“Sementara masyarakat petani menggantungkan hajat hidup dari kebun. Untuk itu, upaya pendekatan dialog dan pemberdayaan tetap menjadi alternatif solusi melaui program prioritas pemerintah,” ujarnya

Pemerintah daerah, perlu mengkaji sejumlah program alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan petani, seperti pengembangan perkebunan rakyat, bantuan bibit produktif, hingga akses koperasi. “Tujuannya agar masyarakat tetap bisa sejahtera tanpa harus berhadapan dengan persoalan hukum,” katanya.

Dengan demikian, kisah petani Peudada niscaya dapat membuka tabir ketegangan lama antara kebutuhan ekonomi warga dengan regulasi kehutanan. Sorotan publik diharapkan tidak sekadar menyudutkan masyarakat kecil, melainkan mendorong lahirnya solusi nyata yang berkeadilan, tutup Murtala.

Sumber : Jw_Reaksi
Editor    : Redaksi 
© Copyright 2022 - Asumsi Publik - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini