Breaking News

Implementasi UU Desa di Aceh Masih Terganjal, Permohonan Lima Keuchik Ke MK Kandas dalam Uji Materil

Kuasa hukum Pemohon, Safaruddin saat sidang pemeriksaan Perkara Nomor 40/PUU-XXIII/2025 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Rabu (14/5/2025). Foto Humas/Bay MKRI

JAKARTA | Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pemeriksaan Perkara Nomor 40/PUU-XXIII/2005, mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh), pada Rabu (14/5/2025) di Ruang Sidang MK. 

Permohonan diajukan oleh lima keuchik (kepala desa) di Aceh, yaitu Venny Kurnia, Syukran, Sunandar, Badaruddin, dan Kadimin.

Para Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh yang menyebutkan, “Gampong dipimpin oleh keuchik yang dipilih secara langsung dari dan oleh anggota masyarakat untuk masa jabatan 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya”.

Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Arsul Sani, kuasa hukum Pemohon, Safaruddin menerangkan pada kedudukan hukum terdapat sedikit perbaikan mengenai kerugian konstitusional. “Ada dua hak konstitusional yang dilanggar, pertama hak konstitusional yang potensial, jadi prinsipal satu dan prinsipal dua itu potensial karena  yang bersangkutan ini habis masa jabatannya tahun 2030 nanti. Kemudian kami bagi juga ada prinsipal tiga, empat dan lima, (hak) konstitusionalnya dilanggar secara aktual yang mereka itu sudah selesai masa jabatannya tahun 2024,” terangnya.  

Selanjutnya, pada pokok permohonan, sambungnya, ia menambahkan alasan pengajuan permohonan. “Proses kawan-kawan di Aceh itu menginginkan penerapan UU sudah dimulai sejak Maret dengan menyurati pemerintah Aceh, kemudian menyurati DPR Aceh, kemudian beraudiensi, keluarlah surat PJ Gubernur dan DPR Aceh yang mendukung implementasi UU Desa di Aceh,” sebut Safaruddin.

Sebelumnya, MK menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan Nomor 40/PUU-XXIII/2005, mengenai pengujian UU Pemerintahan Aceh, pada Senin (28/4/2025) yang diajukan oleh lima keuchik (kepala desa) di Aceh, yaitu Venny Kurnia, Syukran, Sunandar, Badaruddin, dan Kadimin.  Para Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh yang menyebutkan, “Gampong dipimpin oleh keuchik yang dipilih secara langsung dari dan oleh anggota masyarakat untuk masa jabatan 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya”.

Kuasa hukum Pemohon, Febby Dewiyan Yayan dalam persidangan menerangkan bahwa Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh dinilai telah menghilangkan hak konstitusional para Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Febby menjelaskan, apabila memperhatikan pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 92/PUU-XXII/2024 tanggal 3 Januari 2025, serta perubahan hukum nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), masa jabatan kepala desa telah diatur selama 8 tahun dan dapat dipilih kembali satu kali.

"UU Nomor 3 Tahun 2024 dan Putusan MK Nomor 92/PUU-XXII/2024 berlaku secara nasional, termasuk untuk Aceh, sejak diundangkan. Namun, pemberlakuan masa jabatan tersebut terganjal oleh ketentuan Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh," ujar Febby.

Ia menambahkan, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melalui surat Nomor 161/1378, serta Pemerintah Aceh melalui surat Nomor 400.14.1.3/11532 tertanggal 23 September 2024 yang ditandatangani Pj. Gubernur Aceh, Safrizal, telah menyatakan tidak keberatan terhadap pemberlakuan UU Desa di Aceh. Meski demikian, keberadaan Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh tetap berlaku hingga ada putusan MK yang menyatakan sebaliknya. 

Febby menegaskan, kewenangan untuk menyatakan suatu norma dalam undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berada pada MK.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Gampong dipimpin oleh keuchik yang dipilih secara langsung dari dan oleh anggota masyarakat untuk masa jabatan 8 (delapan) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya”.


Baca selengkapnya Permohonan Perkara Nomor 40/PUU-XXIII/2025


Sumber : Humas MKRI Raisa Ayuditha Marsaulina
Editor    : Redaksi 
© Copyright 2022 - Asumsi Publik - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini