![]() |
Foto. ilustrasi |
BIREUEN | Di tengah gencarnya kampanye lingkungan untuk menghentikan alih fungsi hutan oleh petani dan pekebun, ada satu fakta yang sering luput dibicarakan: kerusakan hutan di Bireuen dan sekitarnya telah terjadi jauh sebelum petani turun tangan membuka lahan.
Narasi yang menyudutkan masyarakat gampong sebagai "perambah" atau "perusak" hutan cenderung mengaburkan jejak panjang kebijakan dan proyek pembangunan yang justru menjadi pemicu utama kerusakan ekosistem hutan oleh Pemeritah sendiri.
Dari Rumah Sementara ke Rumah Kayu Rehabilitasi: Jejak Kayu dan Hutan Bireuen Pascabencana Aceh
Ketika gempa bumi dan tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, ribuan nyawa melayang dan puluhan ribu rumah luluh lantak. Di tengah reruntuhan, muncul satu kebutuhan mendesak yang menjadi prioritas utama: tempat berteduh. Program bantuan kemanusiaan global bergerak cepat—membangun rumah sementara (transitional shelter) sebagai langkah darurat penyelamatan hidup, sebelum beralih ke rumah permanen dan rehabilitasi.
Namun, di balik kisah pemulihan itu, tersimpan persoalan mendalam tentang bagaimana kebutuhan akan tempat tinggal memicu eksploitasi sumber daya hutan lokal, khususnya hutan-hutan di Kabupaten Bireuen dan sekitarnya sebagai pemasuk ke kabupeten kota lainnya khususnya Banda Aceh.
Rumah Sementara: Awal dari Krisis Material
Pada tahun 2005 hingga 2007, puluhan ribu rumah sementara dibangun di seluruh Aceh yang terdampak tsunami, termasuk Bireuen. Desain rumah semi permanen berbahan dasar kayu, tripleks, dan seng dipilih karena cepat dibangun, mudah dipindah, dan relatif murah. Namun, pasokan material dalam jumlah besar tidak datang dari luar. Justru, Bireuen menjadi salah satu kabupaten pemasuk kayu dan menjadi tulang punggung konstruksi ini.
Di sinilah awal mula tekanan terhadap hutan Bireuen dan kabupaten lainnya mulai meningkat. Di tengah kondisi darurat, mekanisme pengawasan terhadap perizinan penebangan kayu menjadi longgar. Hutan di sekitar Bireuen, Aceh Barat, Nagan Raya, bahkan perbatasan dengan Bener Meriah dan Aceh Tengah mulai ditebang—legal maupun ilegal—untuk memenuhi kebutuhan "kemanusiaan".
Program Pembangunan Tanpa Kajian Ekologis
Salah satu program paling masif yang turut mempercepat kerusakan hutan adalah program rehabilitasi rumah dhuafa. Sejak awal 2000-an hingga kini, ribuan unit rumah kayu dibangun di seluruh pelosok kabupaten, sebagai bentuk kepedulian sosial terhadap warga miskin. Namun sayangnya, bahan bangunan utama seperti kayu, papan, dan kaso diambil langsung dari hutan lokal, tanpa sistem pengawasan dan suplai yang jelas.
Alih-alih mendatangkan bahan dari sumber legal dan lestari, praktik di lapangan justru membuka peluang besar bagi pembalakan liar yang dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab. Setiap kecamatan mengalami gelombang pembalakan untuk memenuhi kebutuhan material proyek, baik secara resmi maupun terselubung. Ini adalah awal dari tragedi ekologis Bireuen.
Hutan Gundul dan Alih Fungsi Lahan: Konsekuensi, Bukan Penyebab Awal
Alih fungsi hutan menjadi perkebunan rakyat—baik sawit, coklat, pinang, maupun palawija—sering dijadikan kambing hitam dalam isu deforestasi. Padahal, dalam banyak kasus, petani baru masuk setelah hutan kehilangan fungsinya, setelah pembalakan terjadi, setelah pohon-pohon bernilai ekonomis ditebang habis. Mereka hanya memanfaatkan tanah yang sudah tidak lagi disebut "hutan" dalam makna ekologis.
Dengan keterbatasan lahan dan akses ekonomi, masyarakat tidak punya pilihan selain memanfaatkan lahan tidur atau eks-hutan untuk bertahan hidup. Menyalahkan mereka tanpa melihat konteks sejarah ekologis adalah bentuk ketidakadilan struktural.
menuduh masyarakat sebagai perusak tanpa bukti dan mengabaikan konteks struktural adalah bentuk kezaliman. Islam melarang keras hal tersebut. Sesuai dengan tersebut dalam Al-Quran Al-Hujurat [49]: 12)
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing satu sama lain."
(QS. Al-Hujurat [49]: 12)
menuduh masyarakat sebagai perusak tanpa bukti dan mengabaikan konteks struktural adalah bentuk kezaliman. Islam melarang keras hal tersebut.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pertanyaan besar yang harus diajukan bukan hanya “siapa yang membuka lahan?”, tapi:
- Siapa yang membiarkan kayu hutan diangkut tanpa pengawasan?
- Siapa yang merancang program pembangunan rumah kayu tanpa memikirkan sumber bahan bakunya?
- Di mana peran pengawas hutan, dinas lingkungan hidup, LSM lingkungan hidup, Walhi, AGC ?, dan dimana aparat hukum saat pohon-pohon besar tumbang di malam hari?
Kebijakan pembangunan tanpa perspektif ekologis, aparat yang bermain mata dengan pelaku pembalakan, serta kelalaian institusi pengawasan adalah bagian dari kerusakan itu sendiri.
Rumah Kayu untuk Kaum Dhuafa: Saat Bantuan Menjadi Penghinaan bagi Alam dan Martabat Manusia
Ironi besar terjadi di tengah klaim bahwa Aceh adalah wilayah yang kaya sumber daya alam. Di satu sisi, pemerintah menggelontorkan miliaran rupiah untuk membangun rumah layak huni bagi kaum dhuafa. Namun di sisi lain, desain rumah yang dibangun justru sangat sederhana, rapuh, dan berbahan kayu murah—bukan hanya tidak manusiawi, tetapi juga mengorbankan ekosistem hutan secara brutal.
Pertanyaannya: mengapa rumah bantuan negara dibangun dari kayu, sementara kita tahu bahwa kayu berasal dari hutan yang kini semakin kritis? Apakah pemerintah benar-benar tidak memiliki alternatif material yang lebih kuat, aman, dan berkelanjutan? Atau justru ini adalah cermin dari minimnya visi dan penghinaan tersembunyi terhadap martabat masyarakat miskin?
Program ini bukan hanya mencederai prinsip kelestarian lingkungan, tetapi juga mereduksi nilai kemanusiaan kaum dhuafa. Rumah mereka dibangun seadanya, seperti layaknya bangunan darurat, padahal Aceh bukan wilayah darurat lagi—ini adalah wilayah otonomi khusus dengan anggaran besar dan sumber daya melimpah.
Di mana suara Dinas Kehutanan? Di mana tanggung jawab moral perencana program? Saat hutan ditebang untuk papan rumah bantuan, Pemerintah Aceh tidak sedang membantu mereka—Pemerintah Aceh sedang mempermalukan mereka kaum dhuafa. Belum lagi kualitas papan dibangun dengan harga yang sangat murah, potensi korupsi yang sangat nyata terjadi, seolah-olah sudah lumrah, karena penerima dihubungkan oleh timses partai pemenang.
Terakhir: Keadilan Ekologis Dimulai dari Kejujuran Sejarah
Alih fungsi hutan memang harus dikendalikan. Tapi upaya itu tidak boleh dilakukan dengan menyudutkan masyarakat kecil semata. Keadilan ekologis hanya akan tercapai jika kita berani melihat akar masalah dan menuntut pertanggungjawaban dari sistem yang merusak lebih awal.
Jangan hanya larang petani membuka ladang di eks-hutan. Tapi evaluasi juga kebijakan pembangunan yang membuka pintu lebar terhadap pembalakan. Jangan hanya menuntut restorasi dari rakyat kecil, tapi mulailah dengan reformasi pengawasan, transparansi proyek, dan perencanaan pembangunan yang berpihak pada lingkungan. Karena menyalahkan masyarakat bukanlah solusi. Berilah peluang dan beri bantuan masyarakat petani kebun baik berupa jalan akses untuk mempermudah membawa hasil panen dan memberikan legalitas lahan baru dibuka untuk menjaga kesejahteraan dan kemandirian petani.
Petani Kebun beralamat di Peudada - kabupaten Bireuen
Social Header