ACEH SELATAN | Barisan Muda Aceh Selatan (BARMAS) , Muhammad Arhas atau akrab disapa Arhas, melontarkan kritik keras terhadap Pemerintah Kabupaten dan DPRK Aceh Selatan yang hingga September 2025 belum juga menetapkan Qanun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar di Tapaktuan, Kamis (11/9/2025), Arhas menilai proses yang masih menunjukkan lemahnya koordinasi dan komitmen penyelenggara pemerintahan daerah. “Kita sudah melewati batas waktu enam bulan setelah pelantikan kepala daerah, tetapi RPJMD belum juga ditetapkan. Ini bukan sekadar keterlambatan administratif, ini adalah pelanggaran hukum yang nyata,” tegas Arhas.
Arhas menjelaskan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 264 ayat (4), mengatur secara tegas bahwa Perda RPJMD harus ditetapkan paling lama enam bulan setelah kepala daerah terpilih dilantik.
“Pasal 266 ayat (2) dari UU yang sama bahkan memberi sanksi jelas: kepala daerah dan DPRK yang lalai wajib dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan selama tiga bulan. Hak-hak keuangan itu mencakup gaji, tunjangan, sampai biaya operasional. Ini konsekuensi langsung dari kelalaian yang terjadi,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tidak hanya menegaskan batas waktu, tetapi juga membuka ruang bagi pemerintah pusat untuk memberi sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
“Kalau ini sampai diberlakukan, rakyat Aceh Selatan akan langsung terkena dampaknya karena dana pembangunan bisa terhambat. Jadi bukan hanya soal gaji pejabat yang dipotong, tapi juga ancaman terhadap pelayanan publik dan infrastruktur yang dibiayai dari APBK,” Arhas menekankan, keterlambatan ini tidak hanya menyalahi aturan, tetapi juga melemahkan legitimasi DPRK dan eksekutif di mata rakyat.
“APBK yang disusun tanpa landasan RPJMD berisiko ditolak dalam evaluasi Mendagri. Selain itu, DPRK bisa dianggap abai terhadap fungsi pengawasan dan legislasi. Ini bisa memicu interpelasi, hak angket, bahkan usulan pemberhentian kepala daerah jika dibiarkan berlarut-larut,” katanya.
Menurutnya, Pembahasan dan pengesahan Qanun RPJMD yang baru digelar hari ini senin (15/9/2025) padahal sudah berjalan lebih dari enam bulan setelah kepala daerah dilantik, seharusnya Qanun RPJMD tersebut sudah jadi.
“Keterlambatan ini menunjukkan kegagalan perencanaan politik dan birokrasi. Aceh Selatan berisiko tertinggal dibanding daerah lain yang sudah menetapkan RPJMD tepat waktu,” Arhas mendesak agar Pemerintah Kabupaten dan DPRK Aceh Selatan segera mempercepat pembahasan dan pengesahan RPJMD, serta meminta Kementerian Dalam Negeri tidak ragu menegakkan aturan.
“Saya minta Kemendagri jangan tutup mata. Sanksi harus dijalankan. Kepala daerah dan DPRK harus merasakan konsekuensi hukum dari kelalaian ini. Kalau tidak, aturan hanya akan jadi hiasan tanpa makna,” pungkasnya.
Editor : Redaksi

Social Header