Breaking News

Pemimpin Bertanggung-Jawab Menciptakan Peluang Ekonomi Kepada Masyarakat Terutama Pemuda

BANDA ACEH |Prof. Darni M. Daud mengundang teman-teman media untuk berdiskusi tentang masa depan Aceh yang lebih cerah di masa-masa yang akan datang. Pagi Jum'at (2/8/2024) yang cerah itu, awak media dari berbagai media online diajak berdiskusi sembari menyeruput secangkir kopi di Zakir Kopi, Lampriet.

Turut hadir sahabat LSM Rambu Darat sebagai Nara sumber Saiful Mulki dan Ridha Rinaldi mewakili gen Z. 

Sewaktu kuliah di USA, Prof. Darni lama bekerja pada sebuah lembaga berbasis pelatihan dan pendidikan, dan di depan rumahnya sekarang di wilayah Geuceu pun Balai Latihan Kerja (BLK) berdiri kokoh.

Namun menurut amatannya lulusan BLK tersebut tidak terintegrasi dengan baik dengan peluang bekerja, Prof. Darni menyebutkan dengan ABG (Academic, Bussines, Government), kolaborasi terintegrasi antara Akademik dan Pengusaha serta Pemerintah belum berjalan.

Masa depan Aceh tidak tercipta dengan sendirinya tapi harus diciptakan. “pemimpin bertanggung-jawab menciptakan peluang,” tukas Prof. Darni.

Pendidikan saat ini banyak di artikan dalam makna yang sangat sempit, bahwa hanya di bangku sekolah dan lembaga pendidikan baru dianggap terdidik.

Padahal pendidikan berbasis pelatihan untuk semua kalangan yang melahirkan kreativitas dan inovasi merupakan sebuah pendidikan juga.

Prof. Darni menceritakan memiliki seorang teman ekonom yang menghitung nilai ekonomis padi di Aceh yang mencapai 10-12 Triliun Rupiah namun peluang menciptakan nilai tambah pada ‘packaging’ dan penjualan bukan di kelola anak-anak Aceh.

Hampir-hampir anak muda Aceh berjiwa entrepreneur tidak diberi kesempatan untuk berinovasi, akses modal dan kepercayaan kepada sesama sangat rendah.

“Pemimpin tidak memfasilitasi,” ucap Prof. Darni. 

Meskipun fungsi pemimpin adalah menciptakan peluang bagi masyarakat untuk tidak berpikir konsumtif.

Pemimpin bermental konsumtif hampir tidak memiliki waktu untuk mendengar keluhan masyarakat umum. Sektor dunia usaha di Medan sangat maju dan tidak terpengaruh dengan ‘ketok palu' di badan legislatif.

“setiap hari ada kegiatan di Sumatera Utara,” ungkap Prof. Darni.

Di Aceh perputaran ekonomi berbasis industri dan manufaktur nihil. Prof. Darni bercerita ia setiap ada waktu luang digunakan untuk menanam Pepaya dan Pisang dibelakang rumahnya.

Pemimpin di Aceh berdosa jika hanya bermental fee, satu pabrik saja jika bisa berdiri dan beroperasi di Aceh bisa menampung banyak orang.

Penggunaan dana pemerintah hari ini belum memberikan peluang kepada terciptanya iklim usaha yang baik, semua hanya untuk infrastruktur yang ujung-ujungnya pemimpin minta bagian fee proyek.

Hal ini lebih digemari dari pada ‘bertungkus lumus' pada program yang berbasis sektor real yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat terutama anak-anak muda.

“Biaya administrasi usaha harus lebih murah,” ungkap Prof. Darni.

Aceh memiliki banyak lahan kosong dan luas, dan saat ini pemintaan hasil peternakan dan pertanian dari Jazirah Arab dan Eropa sangat tinggi. “kenapa tidak kita garap secara profesional?” dan mengapa lebih senang dengan fee proyek, “kickback fund,” tutur Prof. Darni.

Kolaborasi antara peternak dan petani berpendidikan dan terlatih dengan masyarakat desa kenapa tidak kita garap secara sungguh-sungguh dan profesional.

“orang Dubai sana jelas lebih memilih kambing dari Aceh daripada Australia,” tukas Prof. Darni.

Mentalitas fee yang ada dalam diri pemimpin saat ini telah membuat pembangunan tidak merata di seluruh Aceh. Uang Negara hanya berputar dikalangan sekelompok orang saja.

Sumber : Rizki Satria Manalu
Editor    : Redaksi (Ir)
© Copyright 2022 - Asumsi Publik - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini