Breaking News

Masalah Pengolahan Garam di Aceh, Nasir Asal Bireuen: Minta Pemerintah Perlu Kekompakan dan Perhatian Intensif

 

Ketua Tim Pengolahan Air Laut Dirjen Kelautan dan Perikanan M. Zaki Mahasin, SP,i, MP,i menerima plakat kerjasama dari Ketua Rumah Garam Center Aceh Teuku Tansri Jauhari, SE pada acara Forum Diskusi Group, Kamis (5/09/2024) di Kyriad Hotel, Banda Aceh. (foto.R.Manalu)

BANDA ACEH| Rumah Garam Aceh yang di kelola oleh Teuku Tansri Jauhari menggelar FGD bekerjasama dengan Dirjen Kelautan dan Perikanan yang dihadiri oleh Muhammad Zaki Mahasin selaku Ketua Tim pengolahan air laut bersama ASN dari berbagai daerah di Aceh serta Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar-Raniry yang dihadiri oleh Dekan Dirhamsyah, Muammar Yulian dan Anjar Purba Asmara. Disperindag Aceh serta BPJS dan BPOM, Kamis (5/09/2024) di Kyriad Hotel.

Menurut Zaki Mahasin kondisi alam di Indonesia terbagi dua, Sumatera dan Kalimantan bersifat non equatorial, cuaca panas diselingi hujan yang tiba-tiba. Dan equatorial pulau Jawa dan Sulawesi, daerah ini mampu meningkatkan dan mempertahankan volume produksi garam karena cuacanya apabila panas tanpa diselingi hujan yang tiba-tiba. Solusi bagi daerah non equatorial adalah dengan memperbanyak fasilitas tunnel.

Nasir pelaku usaha garam merek Nasrida asal Bireun mengungkapkan agar pemerintah memberikan tunnel pada ahlinya. Tahun lalu menurut nya pemerintah setempat memberi bantuan tunnel senilai 10 miliar rupiah namun tidak berhasil karena memang yang menerima bukanlah ahli produksi garam. Menurut Nasir lebih baik pemerintah memberikan bantuan tunnel kepada petani garam yang memang ahli dalam memproduksi garam.

“Bantuan tunnel di Pidie Jaya 10 miliar, tapi yang berhasil hanya tiga penerima,” ucapnya.

Pada kesempatan itu Tgk. Muhajir pelaku usaha merek garam Santri menyatakan kesanggupan produksi dan suplai garam dari usahanya ke PT. Rumah Garam yang diketuai Teuku Tansri Jauhari sebanyak 7-10 Ton per bulan, namun Tansri mengungkapkan ketiadaan fasilitas gudang saat ini hanya mampu menampung sejumlah kecil garam jadi berkisar ratusan kilo saja. Dia mengharapkan ada perhatian serius dari pemerintah pusat untuk membangun sebuah gudang garam yang layak untuk menampung garam dari petani.

Proses air laut yang di kristalisasi menjadi garam umumnya memerlukan waktu sampai 45 hari. Harga jualnya saat ini 3.000 rupiah per kilo dalam kondisi masih berupa garam kasar dan 4.000 rupiah kalau sudah dimasak kembali dan dimasukkan kedalam plastik kresek.

Dengan laba kecil dan frekuensi waktu 45 hari sampai memanennya penghasilan garam petani garam sangat kecil. Persyaratan dari pemerintah untuk masuk ke pasar yang lebih tinggi semisal toko-toko super market ber-AC. Pengakuan layak jual sekaligus harga tinggi mencapai 20 juta untuk dapat pengakuan layak dari pemerintah telah mengambil seluruh laba bersih petani garam 1.000 rupiah per kilo dari 20 Ton garam yang diperoleh dengan susah payah oleh petani garam.

Nasir pelaku usaha Nasrida garam mengatakan pemerintah perlu menangani biaya SNI ini. “untuk kebutuhan dasar saja tidak bisa kami penuhi, apalagi SNI yang mencapai 20-50 juta rupiah,” ucapnya.

Penyelenggara acara diskusi Rumah Garam Center diharapkan mampu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk memelihara harga jual garam petani tidak anjlok dengan melakukan pembelian satu harga dan satu pintu dalam setiap kawasan yang terdiri dari beberapa desa penghasil garam. Pembelian garam oleh satu koperasi yang di manajerial dengan profesional. Nasir juga menambahkan perlunya membuat petani garam berghairah dengan harga yang wajar dan manajemen koperasi yang profesional. “beli hasil petani garam dengan harga mahal,” ucapnya.

Belum lagi masalah pengetesan jumlah NACl hasil larutan garam yang sesuai standar, petani garam dibebankan dengan ketiadaan fasilitas alat pengukur NACl, menurut M. Zaki Mahasin harganya mencapai 60 juta.

Pembelian alat seperti ini perlu turun tangan pemerintah, Nasir pengusaha garam Nasrida Bireun mengatakan pada forum diskusi kepada Muammar Yulian selaku pihak sains dan teknologi UIN Ar-Raniry agar membantu petani garam dengan melobi para atasan agar menyediakan alat pengukur yang seharga 60 juta itu. Petani garam cukup membayar biaya tes kisaran 100-200 ribu rupiah sekali tes sehingga petani mudah memperoleh hasil ukur NACl setiap kali memerlukan.

Sumber : Rizki Satria Manalu
Editor    : Redaksi (Ir)
© Copyright 2022 - Asumsi Publik - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini