BANDA ACEH | Isnaini Husda bukanlah orang baru dalam gejolak pemerintahan Banda Aceh, ia telah mengalami Kepempimpinan 3 Walikota Definitif dan 3 Penjabat sementara Walikota.
Sampai suatu ketika ia berada pada posisi penting dalam menentukan perencanaan pembangunan dan penyusunan anggaran setiap tahun di Kuta Raja ini.
Pada pertemuan bersama pengurus masyarakat Pidie Raya (PIRA) di Kampung Keuramat, Rabu (23/10/2024) lalu ia menjadi orang yang terakhir pulang dari pertemuan itu, setelah sebelumnya Aminullah Usman pamit untuk menghadiri pertemuan ditempat lain.
Berdasarkan pemaparannya Kepempimpinan Aminullah – Zainal Arifin di mulai 7 Juli 2017 dan saat itu mereka hanya menjalankan apa yang telah di rancang pada pemerintahan sebelumnya.
Pada tahun 2018-2019 Husaini mengatakan inilah priode Aminullah Usman dapat menjalankan pemerintahannya dengan efektif.
Saat itu untuk menyelesaikan masalah air Aminullah Usman melakukan negosiasi dengan Gubernur Aceh Nova Iriansyah kala itu, dan akhirnya hasil lobi panjang itu Nova mengizinkan tanah seluas 1 hektar di Lambaro agar di pergunakan untuk penampungan debit air bersih sebesar 10.000 m2.
Begitu juga penampungan air bersih 3.000 m2 di belakang kantor DPRK, Juga mengoptimalkan penampungan air di basement pasar Al-Mahirah. Dan ia telah mengusulkan setiap penampungan dibekali pompanisasi yang canggih untuk di tempatkan di bawah PDAM Tirtadaroy.
Namun pada tahun 2020-2021 covid 19 semakin memuncak, sehingga arahan Presiden RI Jokowi kala itu mengintruksikan agar setiap daerah di Indonesia mengedepankan dan fokus pada penanganan covid 19.
Sehingga anggaran yang seyogyanya digunakan untuk efektifitas pompanisasi menjadi buyar. Sebab Anggaran untuk penanganan virus dibebankan kepada APBD.
Banda Aceh yang memiliki sumber pendapatan asli dareah yang hanya mengandalkan sektor jasa dan perdagangan covid 19 ini begitu menohok.
Jika daerah lain masih memiliki sektor pertambangan dan perkebunan untuk menopang PAD, maka yang terjadi saat itu adalah ditutupnya kegiatan masyarakat secara luas.
Mulai dari Hotel yang sepi pengunjung, wisatawan yang menurun drastis, Restaurant dan Cafe yang nyaris tutup membuat PAD Banda Aceh berkurang hingga 43%.
Di Bulan Juli Tahun 2021 Aminullah Usman dan Chek Zainal harus berpamitan dengan warga.
“50% biaya penyelenggaraan pemerintah bisa kita bayar, sisanya tidak,” tukas Isnaini Husda.
Meskipun APBD sudah dirasionalkan sedemikian rupa namun karena hanya mengandalkan PAD yang minus 43% akhirnya Pemko harus rela bertaruh untuk tetap melaksanakan program yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat.
Isnaini Husda hanya ingin melanjutkan pengabdian, jabatan DPRK untuk ketiga kalinya pun rela ia lepaskan.
Isnaini mengaku telah berdiskusi dengan semua calon Walikota yang mengajaknya untuk bekerjasama, namun pilihannya jatuh kepada Aminullah Usman karena menurutnya sosok yang paling mumpuni dan paling memahami situasi kondisi sumber daya serta keuangan daerah hanyalah Aminullah.
“Obsesi saja tidak cukup, tanpa disertai kemampuan melihat sumber daya dan keuangan Banda Aceh,” Ucapnya yang berpengalaman berjibaku merencanakan dan menyusun anggaran.
Begitupun perihal sampah saat covid 19, kolom untuk mengisi gaji operasinal tenaga kebersihan terpaksa dikosongkan. Dapat dibayangkan kondisi PAD Banda Aceh kala itu.
“Sampah tidak terangkut sebab tak mampu membayar operasional,” dan “semua kegiatan besar di Banda Aceh perlu dukungan pemprov dan juga APBN” ucap Isnaini Husda.
Menurut penulis Walikota Banda Aceh kedepan harus mampu menggenjot kinerja ASN agar hak yang diterima dari negara sesuai dengan tanggung-jawab dilapangan masing-masing bidang. Agar Anggaran tidak hanya rasional tapi juga efektif. Jika tidak ditengah minimnya PAD, bukan tidak mungkin pemimpin di priode selanjutnya akan mengalami nasib yang sama, rapuh saat menghadapi krisis.
Walikota harus bisa membentuk budaya etos kerja yang penuh dedikasi dan tanggung jawab sehingga kebijakan pemerintah dapat dirasakan masyarakat.
Editor : Redaksi (Ir)
Social Header