SULAWESI TENGGARA | Kisah haru di tengah gelombang kritik dan sorotan pejuang yang memilih bekerja dalam diam. Di saat kepercayaan masyarakat goyah, justru dari pundaknya, secercah harapan kembali lahir.
Ketika kasus hilangnya Bilqis Ramdhani mencuat, seluruh negeri seperti berhenti bernafas sejenak. Setiap jam terasa menekan, setiap detik menyimpan kecemasan. Banyak orang berspekulasi, banyak yang marah, dan tidak sedikit yang pasrah. Namun di antara kerumunan yang bingung dan gundah itu, ada seorang polisi yang tidak mau menyerah pada keadaan: IPTU Nasrullah.
Ia bukan perwira yang mengejar panggung, bukan polisi yang menunggu sorotan. Dalam kesehariannya, ia lebih sering berdiri di belakang layar, menyatukan potongan-potongan kecil dari sebuah kasus, menggerakkan langkah tanpa menunggu perintah untuk dipuji.
Dan ketika nama Bilqis disebut, ia tahu ini bukan sekadar laporan kehilangan—ini adalah panggilan nurani. Ia bergerak, bukan atas dasar jabatan, tapi atas dasar rasa kemanusiaan. Karena pada akhirnya, di balik seragam itu, ia adalah seorang ayah, seorang manusia yang tak sanggup melihat masa depan anak kecil hilang begitu saja.
Hari-hari pencarian berlangsung bagai mimpi buruk bagi banyak orang. Petunjuk muncul lalu hilang. Dugaan melebar lalu menyempit. Namun bagi IPTU Nasrullah, setiap keraguan justru menjadi kompas untuk bergerak lebih jauh.
Ia memasuki wilayah yang jarang disinggahi orang luar, melintasi tikungan sempit, menyeberangi sungai yang hanya mengenal suara alam. Bahkan ketika ada yang berbisik bahwa “mungkin anak itu sudah tak bisa ditemukan”, ia menolak tunduk pada kesimpulan gelap semacam itu.
Sebab dalam setiap langkah yang ia jelajahi bersama team, ia selalu percaya satu hal: Anak tidak boleh hilang begitu saja dari pangkuan dunia.
Dan kemudian hari itu tiba. Di sebuah kampung terpencil milik Suku Anak Dalam, jauh dari cahaya listrik, jauh dari hiruk pikuk kota, ia melihat seorang anak perempuan kecil dengan mata yang bercerita banyak—takut, bingung, tapi juga menyimpan secercah harapan.
Jantungnya berdebar pelan. Tubuhnya terpaku beberapa detik, seolah menimbang apakah penglihatannya benar. Hingga akhirnya, keheningan itu pecah dengan rasa syukur yang menelusup sampai ke tulang.
Ia tak menangis. Polisi jarang menangis. Tapi hari itu, ada sesuatu yang hangat dan berat mengalir dalam dirinya.
Di dunia yang menghujani polisi dengan kritik, hari itu IPTU Nasrullah membuktikan bahwa masih ada sosok-sosok yang bekerja bukan demi citra, melainkan demi nyawa dan harapan yang mudah rapuh.
Ketika publik mengkritik keras institusi kepolisian, sosok seperti IPTU Nasrullah menjadi bukti bahwa tidak semua harus dikotakkan dalam warna yang sama. Di balik kesalahan oknum, masih ada pribadi-pribadi yang menolak menyerah pada stigma, yang memilih bertindak meski tidak akan pernah mendapat tepuk tangan sebesar badai kritik.
IPTU Nasrullah adalah representasi bahwa integritas masih hidup. Bahwa keberanian masih nyata. Dan bahwa kebaikan, meski sering kali kalah suara, sesungguhnya tidak pernah mati.
Kepulangan Bilqis bukan hanya kemenangan bagi keluarga dan masyarakat, tetapi juga sebuah pengingat: bahwa dalam institusi yang sedang disorot, masih ada hati yang bekerja jujur, tangan yang bergerak tulus, dan langkah yang dipandu oleh perasaan kemanusiaan yang kuat.
IPTU Nasrullah tidak berdiri meminta sorotan. Tetapi justru mata seluruh Indonesia kini tahu: Di balik cerita gelap yang menimpa institusi, ada cahaya kecil yang tetap menyala—dan namanya adalah IPTU Nasrullah.[*]
Sumber : Ernawati Latif (Sulawesi Tenggara)
Editor : Redaksi (Ir)

Social Header