ACEH SELATAN | “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS. Ar Rum ayat 41)
Ayat ini adalah peringatan abadi yang sangat relevan dengan carut marut kondisi lingkungan kita hari ini. Seringkali, perhatian kita terpusat pada "dosa biologis" seperti penganiayaan atau pembunuhan individu namun kita lalai menyadari bahwa perusakan alam adalah bentuk pelanggaran yang jauh lebih serius dan dampaknya lebih masif. Dalam pandangan Islam, bumi adalah amanah (kepercayaan) yang wajib dijaga. Ketika amanah ini dikhianati dan dirusak, kita tidak hanya melanggar etika sosial tetapi juga melanggar perintah agama secara langsung.
Landasan ekologis dalam Islam sangatlah kokoh. Fazlun Khalid, dalam bukunya Environment and Islam, menjelaskan bahwa kedudukan manusia sebagai khalifah bukanlah lisensi untuk mengeksploitasi melainkan kewajiban mutlak untuk menjaga keseimbangan alam. Keseimbangan ini adalah bagian dari mizan (neraca) yang telah Allah tetapkan. Ketika mizan ini kita rusak, dampaknya, cepat atau lambat, akan kembali menimpa kita sendiri.
Senada dengan itu, Seyyed Hossein Nasr dalam karyanya Man and Nature memperkuat pandangan bahwa akar krisis lingkungan modern adalah hilangnya kesadaran spiritual terhadap alam. Manusia modern telah mereduksi alam semata mata menjadi objek produksi dan konsumsi. Cara pandang materialistis ini membuat "dosa ekologis" dianggap wajar, padahal sesungguhnya ia merupakan penyimpangan mendasar dari nilai nilai ilahi.
Dosa Berlapis Banjir Aceh
Dampak kerusakan alam jauh melampaui pelanggaran individual. Dosa ekologis adalah dosa berlapis yang merusak tanah, air, udara, dan seluruh ekosistem. Kerusakan ini tidak berhenti pada satu peristiwa melainkan berlangsung lama dan diwariskan sebagai bencana bagi generasi berikutnya. Quraish Shihab dalam Wawasan Al Qur’an menegaskan, amanah kekhalifahan berarti manusia wajib menjamin keberlanjutan lingkungan bagi masa depan. Jika generasi mendatang mewarisi kerusakan parah, itu adalah bentuk kezaliman yang nyata.
Aceh saat ini adalah cermin nyata bagaimana dosa ekologis seketika bertransformasi menjadi bencana sosial yang berulang. Selama bertahun tahun, khususnya baru baru ini, Aceh berulang kali berstatus darurat bencana akibat banjir, tanah longsor, dan kekacauan ekosistem. Setiap kali hujan deras mengguyur, masyarakat harus waspada karena bentang alam kita sudah mencapai titik rapuh, tidak mampu lagi menahan debit air.
Meskipun faktor alam berperan, mayoritas kerusakan adalah hasil dari campur tangan dan pengkhianatan manusia. Hutan yang seyogyanya menjadi "karpet penyerap air" kini telah habis ditebangi. Izin izin tambang seringkali tanpa kajian ekologis yang matang diberikan secara masif. Gunung dikupas, tanah dikeruk, dan mizan ekosistem benar benar terganggu. Air hujan pun tidak lagi terserap oleh akar pepohonan yang hilang, melainkan meluncur deras membawa lumpur dan material ke pemukiman warga di hilir.
Kerusakan Berbaju Legal
Ironisnya, masalah utama bukan hanya pada tindakan ilegal. Kerusakan lingkungan kini banyak terjadi melalui izin resmi (legal). Ketika izin usaha pertambangan atau penebangan diberikan tanpa mempertimbangkan risiko ekologis jangka panjang, kerusakan menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan.
Masyarakat di hilir yang hidup dari pertanian dan perikanan menjadi korban paling dirugikan. Mereka kehilangan rumah, mata pencaharian, dan rasa aman secara berulang. Sementara itu, keuntungan ekonomi jangka pendek hanya dinikmati oleh segelintir kelompok, menyisakan derita bagi ribuan warga.
Tuntutan Kepemimpinan yang Tegas
Situasi darurat ini menuntut kepemimpinan yang cepat dan tegas. Dalam situasi bencana, masyarakat menantikan kehadiran pemimpin untuk arahan dan langkah nyata. Namun, respons terhadap krisis lingkungan seringkali terasa lambat. Keterlambatan ini memperparah dampak yang ditanggung rakyat. Ketika pemimpin tidak hadir pada waktu yang krusial, beban rakyat menjadi semakin berat dan kepercayaan pun terkikis.
Islam telah memberikan pedoman yang sangat jelas: Allah melarang manusia membuat kerusakan di muka bumi (laa tufsiduu fil ardh). Menjaga lingkungan adalah bagian integral dari keimanan. Oleh karena itu, pembangunan harus berlandaskan prinsip keberlanjutan.Keputusan ekonomi tidak boleh mengabaikan dampaknya terhadap alam dan keselamatan manusia.
Aceh membutuhkan evaluasi menyeluruh terkait tata kelola lingkungannya. Semua izin tambang dan pemanfaatan hutan harus ditinjau kembali dengan ketat. Pengawasan lapangan perlu diperketat, dan pelanggaran harus ditindak serius tanpa pandang bulu. Masyarakat juga perlu dilibatkan dalam pengawasan, karena merekalah pihak pertama yang merasakan pahitnya dampak kerusakan.
Dosa ekologis tidak bisa ditutupi dengan retorika pembangunan. Kerusakan bumi yang kita lihat hari ini adalah cermin dari keputusan dan pengkhianatan kita sendiri. Sudah saatnya semua pihak bersikap lebih bertanggung jawab. Bumi Aceh menuntut perlindungan nyata, bukan sekadar janji janji. Pembangunan harus berpihak pada kelestarian, bukan pada kepentingan sesaat.
Amanah ini sangat berat, tetapi wajib kita jalankan. Kehidupan generasi berikutnya, dan juga kita hari ini, bergantung pada pilihan yang kita ambil saat ini.*
Sumber : Aj
Editor : Redaksi

Social Header