ACEH | Bencana ini belum usai—bahkan belum mendekati kata aman. Di sudut-sudut kamp pengungsian, bau lumpur masih bercampur dengan bau ketakutan. Anak-anak memeluk lutut, mengusap mata yang perih bukan hanya karena air banjir, tapi karena malam-malam panjang tanpa kepastian.
Para orang tua menatap kosong, bertanya dalam hati: "Kapan kami benar-benar ditolong?"
Namun ironinya, ketika jeritan itu masih jelas terdengar, ada pejabat yang justru memperhalus suaranya untuk rekaman. Bukan rekaman data korban, bukan rekaman kebutuhan logistik, tapi rekaman podcast klarifikasi, seolah masyarakat yang kelaparan ini lebih membutuhkan kata-kata, daripada sekarung beras, daripada satu perahu tambahan, daripada satu tangan yang betul-betul turun ke lumpur.
Di lokasi bencana, warga saling membantu tanpa kamera, mengangkat jenazah, menyelamatkan barang yang tersisa, memeluk sesama yang tak punya siapa-siapa.
Sementara pejabatnya datang hanya ketika kru sudah siap, ketika drone sudah terbang, ketika pencahayaan sudah pas. Yang diselamatkan bukan korban, tapi citra.
Ada yang sibuk mengatur gaya bicara, mencari kalimat paling aman, mencari cara agar ia tampak peduli, walau sepatu botnya masih bersih, tanpa bercak lumpur sedikit pun.
Bencana ini belum mereda, tapi yang lebih mencemaskan dari banjir adalah bagaimana empati bisa sedangkah itu.
Saat rakyat berjuang menyelamatkan hidup, pejabat justru berjuang menyelamatkan popularitas. Saat masyarakat menahan lapar, mereka menahan malu—katanya. Saat korban menggigil, mereka sibuk menggulir naskah keterangan.
Bencana ini bukan hanya menguji kekuatan alam, tapi menguji hati: siapa yang benar-benar hadir, siapa yang hanya hadir di kamera.
Selama panggung lebih penting daripada manusia, selama podcast lebih cepat dibuat daripada bantuan turun, maka bencana terbesar kita bukan sekadar banjir, melainkan hilangnya rasa peduli dari mereka yang seharusnya memberi perlindungan.
Sumber : Ernawati Latif
Editor : Redaksi

Social Header