Breaking News

Ketua PUSDA: Langkah Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Fasilitasi Pembahasan Ulang 4 Pulau Patut Diapresiasi

BANDA ACEH | Ketua Pusat Studi Pemuda Aceh (PUSDA), Heri Safrijal SP MTP, memberikan apresiasi atas sikap terbuka Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Dirjen Bina Adwil) Kemendagri, Safrizal ZA, yang menyatakan siap memfasilitasi pembahasan ulang status administratif empat pulau yang berada di wilayah perairan antara Kabupaten Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. 

Heri menilai ini sebagai peluang strategis yang tidak boleh dilewatkan oleh Pemerintah Aceh.

“Langkah Pak Safrizal ZA patut kita puji. Beliau menunjukkan komitmen yang konkret untuk membuka ruang dialog. Sekarang kita tunggu Pemerintah Aceh, baik eksekutif maupun legislatif, harus segera bersatu dan menemui Presiden untuk menyampaikan tuntutan rakyat Aceh terkait empat pulau tersebut,” ujar Heri, Sabtu (31/5/2025).

Heri menyebut bahwa persoalan ini memang bukan hal baru. Dirinya mengingatkan bahwa sejak tahun 2012, empat pulau tersebut—Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang—telah terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bagian dari Sumatera Utara. Hal ini, menurutnya, menjadi konsekuensi dari kurang aktifnya Pemerintah Aceh saat itu dalam memperjuangkan kedaulatan wilayahnya.

“Dulu, saat menjabat Kasubdit Otonomi Khusus di Kemendagri, Safrizal memang sudah menyampaikan bahwa secara administratif pulau-pulau itu masuk wilayah Sumut. Tapi sekarang, beliau justru membuka ruang pembahasan ulang. Ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan,” tegas Heri.

Heri mengungkapkan bahwa dirinya dulu tergabung  Aliansi Pemuda Aceh Menggugat (APAM) pernah melakukan aksi di Kantor Gubernur Aceh saat masa kepemimpinan Nova Iriansyah untuk menuntut kejelasan atas status keempat pulau tersebut. Namun, hingga kini belum ada tindakan nyata yang berhasil mengembalikan pulau-pulau itu ke wilayah Aceh.

Menurut Heri, pemerintah pusat harus melihat Aceh sebagai wilayah yang memiliki keistimewaan. Ia menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar teknis administratif, tetapi menyangkut harga diri dan kedaulatan wilayah. “Ini bukan hanya soal pulau. Ini tentang eksistensi Aceh sebagai daerah istimewa yang harus dihormati, sesuai dengan amanat MoU Helsinki,” katanya.

Dalam klausul 1.1.4 MoU Helsinki, batas wilayah Aceh merujuk pada perbatasan tanggal 1 Juli 1956. Heri menilai, dasar ini sangat kuat dan bisa digunakan sebagai argumen untuk memperjuangkan kembalinya empat pulau tersebut ke pangkuan Aceh. Ia berharap, Pemerintah Aceh segera mengambil langkah hukum dan politik untuk menindaklanjuti hal ini secara serius.

“Pemerintah Aceh tidak boleh diam. Ini bukan soal politik, ini soal harga diri dan hak rakyat yang harus diperjuangkan. Jangan sampai sejarah mencatat kita sebagai generasi yang kehilangan tanah airnya tanpa perlawanan,” pungkas Heri dengan penuh semangat.

Editor : Redaksi (Ir)

© Copyright 2022 - Asumsi Publik - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini