Breaking News

Percepatan Proses Desa Digital: Bukan Membebani, Tapi Mandat Regulasi

ACEH | Digital bukan lagi kata asing dalam kamus kehidupan sehari-hari. Digital merujuk pada penggunaan teknologi komputer dan informasi dalam menyimpan, mengolah, dan menyebarkan data. Apalagi di era ini, digital bukan hanya sekadar gaya hidup, tetapi juga solusi untuk mengatasi tantangan yang dihadapi di berbagai lini kehidupan khususnya di desa.

Desa digital bukan sekadar desa yang memiliki akses internet, tetapi juga desa yang memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup penduduknya. Desa digital mengintegrasikan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, menciptakan ekosistem yang inovatif dan inklusif.

Beranjak dari situ, pemerintah berharap semua desa bisa Desa Digital. Akan tetapi, hal itu dipatahkan dengan isu-isu miring dilapangan terkait dugaan "pengurasan" dana desa lewat pelatihan digitalisasi dan Siskeudes, seperti yang selama ini mencuat dipublik beragam asumsi. 

Nah disini terlihat menunjukkan betapa rendahnya pemahaman sebagian pihak terhadap kerangka hukum dan kebijakan nasional terkait penggunaannya, pengelolaan dana desa serta pengawasannya.

Padahal, alokasi dana untuk digitalisasi desa adalah bagian dari mandatory spending atau pengeluaran wajib negara, yang sudah diatur secara jelas dalam sejumlah regulasi resmi.

Dalam hal ini, yang perlu dikritisi bukanlah keberadaan pelatihannya, melainkan pelaksanaan teknisnya yang kala diduga bermasalah dan tidak transparan artinya cari untung. Menyalahkan programnya justru menunjukkan sikap anti terhadap regulasi dan arah pembagunan nasional terhadap Kemajuan Negara.

Keuntungan Desa Digital

  • Mempermudah Akses Informasi dan Meningkatkan Wawasan Masyarakat
  • Mempercepat Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat
  • Meningkatkan Kualitas dan Mempercepat Pelayanan Publik
  • Meningkatkan Efisiensi di Sektor Pertanian Pintar (Smart Farming), Desa Wisata, dan sebagainya.
  • Memperluas Akses Partisipasi Masyarakat

Dasar Hukum: "Digitalisasi Desa Adalah Amanat Resmi Negara..!

  1. Permenkeu Nomor 201/PMK.07/2022 dan turunannya secara eksplisit menyebut bahwa percepatan digitalisasi desa merupakan bagian dari prioritas nasional yang dibiayai dari Dana Desa.
  2. Permendesa PDTT Nomor 8 Tahun 2022 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2023 (yang diperpanjang pada Permendesa No. 2 Tahun 2024) menyebutkan secara gamblang bahwa penguatan kapasitas pemerintahan desa melalui sistem informasi dan digitalisasi adalah bagian dari prioritas penggunaan dana desa.
  3. Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 tahun 2023 tentang Percepatan Digitalisasi Layanan Publik, juga mengarahkan pemerintah daerah hingga tingkat desa untuk melakukan modernisasi birokrasi berbasis digital.
  4. Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, mewajibkan penggunaan aplikasi standar pemerintah yaitu Siskeudes (Sistem Keuangan Desa) dalam tata kelola keuangan desa.

Artinya, ketika desa melaksanakan pelatihan penggunaan Siskeudes dan sistem digital lainnya, itu bukan sekadar inisiatif lokal—melainkan implementasi langsung dari mandat nasional. Maka menyebut pelatihan tersebut sebagai "penguras dana desa" justru bisa dikatakan menyesatkan opini publik, selama tidak dibarengi dengan bukti penyimpangan anggaran.

Kewajiban Bukan Alibi: Jangan Salahkan Regulasi, Awasi Implementasinya

Masalahnya bukan pada keharusan digitalisasi, melainkan pada:

  • Apakah pelatihanya benar-benar dilakukan sesuai pedoman teknis?
  • Apakah ada laporan pertanggungjawaban anggaran yang dipublikasikan sesuai ketentuan UU Desa dan Permendagri No. 73 Tahun 2020 tentang Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa? 
  • Apakah pelatihan menghasilkan peningkatan kapasitas perangkat desa yang terukur?
Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut negatif, maka yang salah bukan regulasinya, tetapi pelaksanaan teknis di daerah—baik oleh penyelenggara pelatihan, pendamping, maupun pemda yang lalai mengawasi.

Celah untuk Manipulasi: "Perkuat Sistem, Bukan Tolak Program..!

Tuduhan bahwa pelatihan ini jadi ajang pemborosan bahkan manipulasi anggaran, justru menjadi alarm untuk meningkatkan pengawasan internal dan partisipasi warga desa.

  1. Udah saatnya Bupati, Inspektorat, dan Dinas PMD (DPMG) turun tangan menilai efektivitas pelatihan dan kesesuaian realisasi anggaran.
  2. Tuha Peut (BPD) dan warga desa lebih aktif menuntut Keterbukaan laporan keuangan dan hasil pelatihan.
  3. Media dan LSM tidak hanya membangun narasi tuduhan, tetapi juga mengedukasi publik bahwa digitalisasi adalah keharusan sistemik dalam era akuntabilitas publik.

Taat Regulasi atau Melawan Arah Pembangunan..!

Digitalisasi desa adalah amanat resmi negara yang telah diikat dalam berbagai peraturan. Mengalokasikan dana desa untuk pelatihan Siskeudes dan digitalisasi bukanlah pemborosan, tetapi tanggung jawab konstitusional untuk meningkatkan tata kelola desa yang transparan, efektif, dan partisipatif.

Jika pelatihan tersebut terindikasi bermasalah, maka evaluasi dan perbaiki pelaksanaannya. Jangan jatuhkan program yang dilandasi peraturan resmi hanya karena oknum tertentu menyimpangkannya.

Membenturkan pelatihan digitalisasi dengan narasi “pengurasan dana desa” tanpa menyentuh akar masalahnya adalah bentuk pengaburan logika publik. Padahal, di era ini, desa yang tidak digital justru akan tertinggal dan tidak transparan—itulah masalah yang sesungguhnya.

Editor : Redaksi 

Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut negatif, maka yang salah bukan regulasinya, tetapi pelaksanaan teknis di daerah—baik oleh penyelenggara pelatihan, pendamping, maupun pemda yang lalai mengawasi.


Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, mewajibkan penggunaan aplikasi standar pemerintah yaitu Siskeudes (Sistem Keuangan Desa) dalam tata kelola keuangan desa.
© Copyright 2022 - Asumsi Publik - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini