ACEH | Delapan puluh tahun sudah Indonesia berdiri sebagai bangsa merdeka. Dari sebuah proklamasi sederhana di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, pada 17 Agustus 1945, kini Indonesia tumbuh menjadi negara besar dengan penduduk lebih dari 280 juta jiwa. Namun, dalam usianya yang ke-80 ini, pertanyaan yang patut kita renungkan bersama adalah: bagaimana wujud nasionalisme kebangsaan kita terhadap bangsa hari ini?
Nasionalisme pada era awal kemerdekaan ditandai dengan perlawanan fisik: mengusir penjajah, mempertahankan kedaulatan, hingga menjaga persatuan di tengah rongrongan separatisme. Hari ini, bentuk nasionalisme tidak lagi semata-mata terletak pada aksi mengangkat senjata. Tantangan terbesar justru ada pada perjuangan moral, intelektual, dan digital.
Korupsi, ketimpangan sosial dan ekonomi, hoaks, radikalisme, dan rendahnya literasi menjadi “penjajah gaya baru” yang berusaha merongrong keutuhan bangsa. Maka, semangat nasionalisme harus diwujudkan dalam perilaku sehari-hari: kejujuran, kerja keras, kepedulian sosial, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang pesat.
Indonesia bukan hanya merdeka karena kekuatan senjata, tetapi karena persatuan. Dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Rote, kita adalah bangsa besar yang dianugerahi keberagaman luar biasa: suku, agama, adat dan budaya, hingga bahasa. Persatuan dalam keberagaman inilah yang membuat Indonesia bertahan hingga 80 tahun.
Namun, arus globalisasi dan polarisasi politik belakangan ini sering kali mengikis nilai persaudaraan kebangsaan. Maka, momentum 80 tahun kemerdekaan harus menjadi titik balik untuk memperkuat semangat Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan bukanlah alasan untuk berpecah belah, melainkan modal untuk memperkaya identitas bangsa.
Nasionalisme Era Digital: Dari Meme Hingga Bendera One Piece
Menariknya, semangat nasionalisme di era digital kini muncul dalam berbagai bentuk yang sangat kreatif. Belakangan, publik dihebohkan dengan fenomena Bendera One Piece yang viral di media sosial. Walau berangkat dari sebuah karya fiksi, masyarakat, terutama anak muda Indonesia, menjadikannya simbol semangat perjuangan, solidaritas, dan persaudaraan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa nasionalisme tidak melulu kaku dalam bentuk formal, tetapi bisa lahir dari ekspresi budaya populer. Ketika anak-anak muda mengibarkan bendera dengan semangat persatuan, itu mencerminkan kerinduan mereka akan Indonesia yang lebih baik: Indonesia yang kuat, kompak, dan berani bermimpi besar seperti kru kapal bajak laut fiksi yang berlayar menuju impian mereka ke tengah samudera yang penuh tantangan.
Inilah tantangan sekaligus peluang: bagaimana kita mampu mengolah energi kreatif anak bangsa menjadi kekuatan kebangsaan. Nasionalisme abad ke-21 harus mampu bertransformasi mengikuti perkembangan zaman, tanpa kehilangan esensinya: cinta tanah air dan pengorbanan untuk bangsa.
Bung Karno: Nasionalisme yang Hidup di Hati Rakyat
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, pernah berpesan: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.”
Dan dalam kesempatan lain beliau menegaskan: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”
Kutipan Bung Karno ini menjadi pengingat penting. Nasionalisme bukan sekadar jargon, tetapi kesadaran kolektif untuk menghormati perjuangan masa lalu, sekaligus melanjutkannya dalam bentuk kerja nyata masa kini. Ketika generasi muda menjadikan simbol-simbol populer sebagai wujud kepedulian terhadap bangsa, itu adalah bagian dari cara baru menghidupkan kembali semangat yang diwariskan oleh para pendiri bangsa.
Merdeka yang Sesungguhnya
80 tahun kemerdekaan seharusnya tidak hanya diperingati dengan seremoni, lomba tujuhbelasan, atau pawai kemerdekaan. Lebih dari itu, kemerdekaan harus diwujudkan dalam kehidupan yang bebas dari kemiskinan, bebas dari kebodohan, bebas dari ketidakadilan, dan bebas dari keterbelakangan.
Semangat nasionalisme kebangsaan berarti memperjuangkan agar setiap warga negara merasakan arti kemerdekaan secara nyata: bisa mengenyam pendidikan layak, memperoleh pekerjaan yang bermartabat, mendapat pelayanan kesehatan, serta hidup aman dan sejahtera.
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah capaian besar, tetapi juga tanggung jawab besar. Tugas kita sebagai generasi penerus adalah merawat api kemerdekaan agar tidak padam. Jika dulu para pejuang mengorbankan jiwa dan raga untuk merebut kemerdekaan, maka hari ini kita berkewajiban menjaga, mengisi, dan melanjutkan perjuangan itu dengan kerja nyata.
Semoga semangat nasionalisme kebangsaan senantiasa hidup di dada setiap anak bangsa, baik melalui bendera merah putih yang berkibar di tiang-tiang, maupun lewat kreativitas simbol baru yang lahir dari budaya populer. Pada akhirnya, semuanya bermuara pada satu cita-cita: Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
Ditulis oleh:
Arief Adam Al-Ghazali, S.Ud., M.Ag (Kepala Komite Investigasi Negara (KIN-RI) Provinsi Aceh)
Editor : Redaksi
Social Header